KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat taufik dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat
pada waktunya. penulisan
makalah ini yang berjudul “kilas balik dan analisis ekonomi tahun 1997-1998”,
ini bertujuan untuk mengulas kembali peristiwa ekonomi di indonesia dan
menganalisis krisis ekonomi tahun 1997-1998.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam
penulisan makalah ini,itu dikarenakan kemampuan penulis yang terbatas.namun
berkat bantuan dari rekan-rekan satu kelompok,serta dosen pembimbing yang telah
membimbing dalam penyusunan makalah ini.
Penulis berharap dengan penulisan makalah
ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan bagi pembaca serta
semoga menjadi bahan pertimbangan untuk meningkatkan prestasi dimasa yang akan
datang.
BEKASI,
29 APRIL 2015
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Krisis ekonomi
indonesia dari zaman dahulu hingga zaman sekarang sudah sering terjadi apalagi
pada tahun 1997 indonesia pernah mengalami krisis moneter selama lebih dari 2
tahun diubahlah menjadi krisi ekonomi yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi karena
semakin banyak perusahaan yang ditutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang
menganggur.oleh karena itu perlu adanya tindakan- tindakan nyata dari
pemerintah untuk memperbaiki ini semua sehingga indonesia bisa menjadi lebih
baik dan tingkat pengangguran di Indonesia berkurang sepenuhnya.
Krisis ekonomi
yang berkembang menjadi krisis di berbagai bidang telah memberikan kesadaran
baru akan adanya persoalan di bidang ekonomi,politik,hukum serta agama dan
sosial budaya yang bersifat stuktural dan terus berkembang di kalangan
masyarakat.
Persoalan
ketidakadilan terus dipertanyakan dan dituntut oleh masyarakat untuk segera diperbaiki.masyarakat
menuntut reformasi segala bidang secara mendasar,termasuk pemulihan ekonomi secepatnya.
langkah-langkah untuk menanggulangi krisis secepatnya dan melaksanakan
reformasi tersebut selanjutnya telah diamanatkan rakyat indonesia melalui
sidang istimewa majelis permusyawaratan rakyat pada bulan november 1998, namun
demikian upaya pemulihan ekonomi berjalan lambat karena situasi
sosial,politik,dan keamanan yang kurang kondusif.
1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
cara mengatasi krisis ekonomi di
Indonesia?
2. Faktor
apa
sajakah yang menjadi penyebab krisis ?
3. Bagaimana
kondisi negara Indonesia
tahun 1998 di saat krisis ?
BAB
2
PEMBAHASAN
Kondisi
Awal Krisis Ekonomi di Indonesia Sebagai introspeksi, harus kita akui bahwa
krisis di Indonesia benar-benar tidak terduga datangnya, sama sekali tidak
terprediksi sebelumnya. Seperti dikatakan oleh Furman
dan Stiglitz (1998), bahwa di antara 34 negara bermasalah yang diambil sebagai
percontoh (sample) penelitiannya, Indonesia adalah negara yang paling tidak
diperkirakan akan terkena krisis bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya
dalam percontoh, tersebut. Ketika Thailand mulai menunjukkan gejala krisis,
orang umumnya percaya bahwa Indonesia tidak akan bernasib sama.
Fundamental
ekonomi Indonesia dipercaya cukup kuat untuk menahan kejut eksternal ( external
shock ) akibat kejatuhan ekonomi Thailand.Berikut ini 4 Penyebab Krisis Ekonomi
Indonesia
Tahun 1997-1998 :
Pertama,
stok hutang luar negeri swasta
yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisibagi
“ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk olehrasa percaya diri yang berlebihan,
bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri
dibidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratanhutang swasta
tersebut. Pemerintah selama ini selalu ekstra
hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau hutang publik lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani (manageable). Akan tetapi untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta
Indonesia,pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari
bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi
masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai
dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan
hutang luar negeri Indonesia berasal dari
pinjaman swasta (World Bank, 1998).
Hal
ini mirip dengan yang
terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis. Dalam banyak hal, boleh dikatakan bahwa negara telah menjadi korban dari keberhasilannya sendiri. Mengapa demikian?
Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada
perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki
surplus anggaran,mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki
sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka. Daya
tarik dari “dynamic economies” ini telahmenyebabkan net capital inflows atau
arus modal masuk (yang meliputi hutang jangka
panjang,penanaman modal asing, dan equity purchases )ke wilayah Asia Pasifik
meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih dari US$110 milyar
pada tahun 1996 (Greenspan 1997).Sayangnya, banyaknya modal yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk
sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian atau industri, tetapi justru masuk ke
pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia dan Thailand, ke sektor
perumahan( real estate ). Di sektor-sektor ini memang terjadi ledakan ( boom)
karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi, tetapi sebaliknya
kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan ekonomi nasional justru
mengalami perlambatan, akibatapresiasi nilai tukar yang terjadi, antara
lain,karena derasnya arus modal yang masuk itu.Selain itu, hutang swasta
tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapilebih
mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara
akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga keuangan
membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang
telah“digelembungkan” yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut(Kelly and Olds
1999). Ini adalah akibat dari sistem
yang sering disebut sebagai “ cronycapitalism ”.
Moral
hazard dan penggelembungan aset
tersebut, seperti dijelaskan oleh Krugman(1998), adalah suatu strategi “kalau
untung aku yang ambil, kalau rugi bukan aku yang
tanggung( heads I win tails somebody else loses)”. Ditengah pusaran ( virtous
circle) yang semakin hari makin membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan
pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet
andSachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman (
maturity ) hutang swasta
tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas
waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan,
dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar
(WorldBank 1998).
Kedua,
dan terkait erat dengan masalah di
atas, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan
tersebut,masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.Ketika liberalisasi sistem
perbankan diberlakukan pada
pertengahan tahun 1980-an, mekanisme pengendalian dan pengawasan
dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak
ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya
dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri,konsentrasi pinjaman pada
pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau kekurangan modal,
tetapi tetap dibiarkan beroperasi. Semua ini
berarti,ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu
menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban
langsung akibat neracanya yang tidak sehat.
Ketiga,
sejalan dengan makin tidakjelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang
pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula. Hill (1999)
menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-intrik politiknya yang menyebar ke mana-mana
telah menghambat atau menghalangi gerak pemerintah,untuk
mengambil tindakan tegas di tengah krisis. Jauh sebelum krisis terjadi, invetor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di Indonesia
selalu mengeluhkan kurangnya transparansi, dan lemahnya perlindungan maupun kepastian hukum.Persoalan ini sering dikaitkan
dengan tingginya “ biaya siluman” yang harus
dikeluarkan bila orang melakukan kegiatan bisnis di
sini.
Anehnya,
selama Indonesia menikmati economic boom persepsi negatif tersebut tidak terlalu menghambat ekonomi Indonesia. Akan tetapi begitu krisis
menghantam,maka segala kelemahan itu muncul menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis. Masalah ini pulalah
yang mengurangi kemampuan kelembagaan pemerintah untuk bertindak cepat, adil,
danefektif. Akhirnya semua itu berkembang menjadi“krisis kepercayaan” yang
ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi yang
dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari
keluar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.
Keempat,
perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi,dan
pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri .Faktor ini
merupakan hal yang paling sulit diatasi. Kegagalan dalam mengembalikan stabilitas
sosial-politik telah mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum
pemulihan secara mantap dan berkesinambungan.Meskipun persoalan perbankan
dan hutang swasta menjadi penyebab dari
krisis ekonomi, namun,kedua faktor yang disebut terakhir di atas adalah penyebab
lambatnya pemulihan krisis di Indonesia. Pemulihan ekonomi musykil, bahkan
tidak mungkin dicapai, tanpa pulihnya kepercayaan pasar, dan kepercayaan pasar
tidak mungkin pulih tanpa stabilitas politik dan adanya permerintahan yang terpercaya
(credible).
Tahun
1998 menjadi saksi bagi tragedi perekonomian bangsa. Keadaannya berlangsung sangat
tragis dan tercatat sebagai periode paling suram dalam sejarah perekonomian
Indonesia.Mungkin dia akan selalu diingat, sebagaimana kita selalu mengingat
black Tuesday yang menandai awal resesi ekonomi dunia tanggal 29 Oktober 1929
yang juga disebut sebagai malaise.Hanya dalam waktu setahun, perubahan dramatis
terjadi.Prestasi ekonomi yang dicapai dalam dua dekade, tenggelam begitu saja.
Dia juga sekaligus membalikkan semua bayangan indah dan cerah di depan mata menyongsong milenium ketiga.Selama periode sembilan bulan
pertama 1998,tak pelak lagi merupakan periode paling hiruk pikuk dalam perekonomian. Krisis yang
sudah berjalan enam bulan selama tahun 1997,berkembang semakin buruk dalam tempo cepat. Dampak krisis pun mulai dirasakan
secara nyata oleh masyarakat, dunia usaha.Dana
Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun terbukti tidak bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi
danrupiah. Bahkan situasi seperti lepas kendali, bagai layang-layang yang putus talinya. Krisis
ekonomi Indonesia bahkan tercatat sebagai yang terparah di Asia
Tenggara.Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis
nilai tukar bath di Thailand 2Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang
menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis
politik.Akhirnya, dia juga berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan nyaris
seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Katakan, sektor apa dinegara ini yang tidak goyah. Bahkan kursi atau tahta mantan Presiden Soeharto pun goyah,dan akhirnya dia tinggalkan. Mungkin
Soeharto,selama sisa hidupnya akan mengutuk devaluasi baht, yang menjadi pemicu
semua itu.Efek bola salju Faktor yang mempercepat efek bola salju ini adalah
menguapnya dengan cepat kepercayaan masyarakat, memburuknya kondisi kesehatan Presiden
Soeharto memasuki tahun1998,ketidakpastian suksesi kepemimpinan,sikap plin-plan
pemerintah dalam pengambilan kebijakan.
Besarnya
utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi perdagangan internasional
yang kurang menguntungkan, dan bencana alam LaNina yang membawa kekeringan
terburuk dalam50 tahun terakhir.Dari total utang luar negeri per Maret 1998
yang mencapai 138 milyar dollar AS, sekitar 72,5 milyar dollar AS adalah utang
swasta yang duapertiganya jangka pendek, di mana sekitar 20 milyar dollar AS
akan jatuh tempo dalam tahun 1998. Sementara pada saat itu cadangan devisa tinggal sekitar 14,44 milyar dollar
AS.Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dollar AS pada tahun 1997, meluncur dengan cepat kelevel
sekitar Rp 17.000/dollar AS pada 22 Januari 1998, atau terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang,tersebut diambangkan 14 Agustus 1997.Rupiah yang melayang, selain
akibat meningkatnya permintaan dollar untuk
membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap
angka-angka RAPBN 1998/ 1999 yang diumumkan 6
Januari1998 dan dinilai tak realistis.Krisis yang membuka borok-borok kerapuhan fundamental ekonomi ini dengan cepat merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang
dan pasar modal juga rontok, bank-bank
nasional dalam kesulitan besar dan peringkat
internasional bank-bank besar bahkan juga surat utang pemerintah terus merosot ke level di bawah junk atau menjadi sampah. Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai dariskala kecil hingga
konglomerat, bertumbangan.Sekitar 70persen lebih perusahaan yang tercatatdi
pasar modal juga insolvent atau notabene bangkrut.
Sektor
yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan,sehingga melahirkan
gelombang besar pemutusan
hubungan kerja (PHK). Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak
akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan
kerja.Akibat PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di
bawah garis kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total
penduduk. Sementara si kaya sibuk
menyerbu toko-toko sembako dalam suasana kepanikan luar biasa, khawatir harga akan terus melonjak.
Pendapatan per kapita yang mencapai
1.155dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088 dollar/kapita tahun 1997, menciut menjadi 610
dollar/kapita tahun 1998, dan dua dari tiga penduduk Indonesia disebut Organisasi Buruh
Internasional(ILO) dalam kondisi sangat miskin pada tahun 1999 jika ekonomi tak segera membaik. Data Badan Pusat Statistik juga
menunjukkan,perekonomian yang masih mencatat pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 dan nol persen kuartal
terakhir 1997,terus menciut tajam menjadi kontraksi sebesar7,9 persen pada
kuartal I 1998, 16,5 persen kuartal
II 1998,dan 17,9 persen kuartal III 1998.Demikian pula laju inflasi hingga
Agustus 1998 sudah 54,54 persen,dengan angka inflasi Februari mencapai 12,67 persen.Di pasar
modal,Indeks Harga Saham Gabungan(IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke
titik terendah, 292,12 poin, pada 15 September
1998,dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997.Sementara kapitalisasi pasar
menciut drastis dari Rp 226 trilyun menjadi Rp 196 trilyun pada awal Juli 1998.Di pasar uang, dinaikkannya suku
bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 70,8persen dan Surat Berharga
Pasar Uang (SBPU)menjadi 60 persen pada Juli 1998 (dari masing-masing 10,87 persen
dan 14,75 persen pada awalkrisis), menyebabkan kesulitan bank semakin memuncak.
Perbankan mengalami negative spread
dan tak mampu menjalankan fungsinya sebagai pemasok dana ke sektor riil.Di sisi lain, sektor ekspor
yang diharapkan bisa menjadi
penyelamat di tengah krisis,ternyata sama terpuruknya dan tak mampu memanfaatkan momentum depresiasirupiah, akibat beban
utang,ketergantungan besar pada komponen impor,kesulitan trade financing, dan persaingan ketat
dipasar global.
BAB
3
ISI
3.1 Krisis Keuangan Asia di Indonesia
Krisis Keuangan Asia dimulai pada tanggal 2 Juli 1997 ketika pemerintah
Thailand yang saat itu dibebani dengan utang luar negeri yang amat besar,
memutuskan untuk mengambangkan mata uang baht setelah serangan yang dilakukan oleh
para spekulan mata uang terhadap cadangan devisa negaranya. Pergeseran
moneter ini bertujuan untuk merangsang pendapatan ekspor namun strategi ini
terbukti sia-sia. Sehingga dengan cepat hal ini menimbulkan efek penularan
ke negara-negara Asia lainnya karena investor asing - yang telah menanamkan
uang mereka di 'Asian Economic Miracle countries'
('Ekonomi-Ekonomi Asia yang Ajaib’) sejak satu dekade sebelum tahun 1997 -
kehilangan kepercayaan di pasar Asia dan membuang mata-mata uang dan aset-aset
Asia secepat mungkin.
3.2 Awal
Krisis Moneter di Indonesia
Meskipun kawasan Asia menunjukkan tanda-tanda mengkhawatirkan, para
investor asing awalnya tetap percaya pada kemampuan para teknokrat Indonesia untuk bertahan dalam badai krisis keuangan (seperti yang
pernah mereka lakukan sebelumnya pada tahun 1970-an dan 1980-an). Tapi kali ini
tidak dapat lepas dari krisis dengan mudah. Indonesia menjadi negara yang
paling terpukul karena krisis ini tidak hanya berdampak terhadap ekonomi tetapi
juga berdampak signifikan dan menyeluruh terhadap sistem politik dan keadaan
sosial di Indonesia.
Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis
nilai tukar Baht di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat
berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke
krisis politik. Pada saat mata uang baht Thailand mulai melemah
terhadap dollar AS maka dua puluh hari kemudian, 21 Juli 1997 pelemahan baht
tersebut menular ke Indonesia, Rupiah melemah 7 persen terhadap dollar AS. Pada
1 September 1997, pemerintah mengumumkan paket kebijakan ekonomi untuk
meresponsnya.
Pada saat tekanan terhadap rupiah Indonesia akhirnya terlalu kuat, rupiah
diputuskan untuk diambangkan bebas (float freely) sejak
bulan Agustus 1997. Dan sejak saat itu mulailah terjadi depresiasi yang sangat
signifikan. Pada tanggal 1 Januari 1998, nilai nominal rupiah hanya 30 persen
dari nilai yang pernah dicapai pada bulan Juni 1997. Pada tahun-tahun sebelum
tahun 1997 banyak perusahaan swasta di Indonesia yang memperoleh pinjaman luar
negeri jangka pendek yang tidak dilindungi terhadap gejolak nilai tukar (unhedged) dalam mata uang dolar, dan utang sektor
swasta yang sangat besar ini ternyata menjadi bom waktu yang menunggu untuk
meledak. Berlanjutnya depresiasi rupiah hanya memperburuk situasi secara
drastis.
Perusahaan-perusahaan di Indonesia berlomba-lomba membeli dolar sehingga
menimbulkan lebih banyak tekanan terhadap rupiah dan memperburuk situasi utang
yang dimiliki oleh para perusahaan. Dapat dipastikan bahwa
perusahaan-perusahaan di Indonesia (termasuk bank-bank, beberapa di antaranya
diketahui sangat lemah) akan menderita kerugian yang amat besar. Persediaan devisa
menjadi langka karena pinjaman-pinjaman baru untuk perusahaan-perusahaan di
Indonesia tidak diberikan oleh kreditur asing. Karena tidak mampu mengatasi
krisis ini maka pemerintah Indonesia memutuskan untuk mencari bantuan keuangan
dari Dana Moneter Internasional (IMF) pada bulan Oktober 1997.
IMF DATANG TAPI KEKACAUAN MASIH TETAP BERLANGSUNG
Pada 8 Oktober, pemerintah meminta bantuan Dana Moneter
Internasional (IMF). Dua puluh hari kemudian, 28 Oktober, pasar modal anjlok,
yang dikenal sebagai ”Selasa Hitam”. Pada 31 Oktober, pemerintah menandatangani
perjanjian dengan IMF berikut fasilitas pinjaman siaga 38 miliar dollar AS.
Tindak lanjut dari kesepakatan itu, 16 bank dilikuidasi pada 1 November. Pada 3
November, pemerintah kembali mengumumkan paket kebijakan ekonominya.
IMF tiba di Indonesia dengan paket bailout sebesar USD $43 milyar untuk memulihkan
kepercayaan pasar terhadap rupiah Indonesia. Sebagai imbalannya IMF
menuntut beberapa langkah-langkah reformasi keuangan yang mendasar: penutupan
16 bank swasta, penurunan subsidi pangan dan energi, dan menyarankan agar Bank
Indonesia untuk menaikkan suku bunga. Akan tetapi paket reformasi ini
ternyata gagal. Likuidasi 16 bank pada 1 November (beberapa diantaranya
dikendalikan oleh kroni Presiden Suharto
memicu penarikan dana besar-besaran pada bank-bank
lain. Milyaran rupiah ditarik dari tabungan, sehingga membatasi kemampuan bank
untuk memberikan pinjaman dan memaksa Bank Indonesia untuk memberikan kredit
dalam jumlah besar kepada bank-bank yang masih ada untuk mencegah krisis
perbankan yang semakin parah. Selain itu, IMF tidak pernah berusaha untuk
mengekang sistem patronase yang dimiliki Suharto dan yang merusak perekonomian
negara dan juga merusak program IMF.
Sistem patronase ini adalah alat yang
dijalankan oleh Suharto untuk mempertahankan kekuasaan; dalam imbalan atas
dukungan politik dan keuangan dia memberikan jabatan yang kuat kepada para
keluarga, teman dan musuh (sehingga menjadi kroni). Perkembangan lain yang
berdampak negatif terhadap Indonesia menjelang akhir tahun 1997 adalah
kekeringan parah yang disebabkan oleh El Nino (sehingga menyebabkan kebakaran
hutan dan hasil panen yang buruk) dan peningkatan spekulasi tentang memburuknya
kesehatan Suharto (sehingga menyebabkan adanya ketidakpastian politik). Maka, secara bertahap, Indonesia sedang menuju
terjadinya krisis politik.
Kesepakatan kedua dengan IMF diperlukan karena
ekonomi masih tetap saja memburuk. Pada bulan Januari 1998 rupiah kehilangan
setengah nilainya hanya dalam rentang waktu lima hari saja dan ini menyebabkan
masyarakat berusaha menimbun makanan. Kesepakatan kedua dengan IMF ini berisi
50 pokok program reformasi, termasuk pemberian jaring pengaman sosial,
penghapusan secara perlahan subsidi-subsidi tertentu untuk masyarakat dan
menghentikan sistem patronase Suharto dengan cara mengakhiri monopoli yang
dijalankan oleh sejumlah kroninya. Namun, keengganan Suharto untuk melaksanakan
program reformasi struktural ini dengan patuh justru menambah buruk situasi. Di
sisi lain IMF dikritik karena dinilai terlalu memaksakan banyak program
reformasi dalam waktu yang terlalu singkat sehingga memperburuk perekonomian
Indonesia. IMF memang membuat kesalahan pada saat melakukan pendekatan awal
dalam krisis Indonesia namun lembaga ini akhirnya menyadari bahwa kunci utama
untuk mengatasi krisis adalah untuk memulai kembali aliran modal swasta ke
Indonesia. Agar hal ini terwujud maka sistem patronase harus dipecah.
PDB dan Inflasi Indonesia 1996-1998:
|
1996
|
1997
|
1998
|
Pertumbuhan PDB
(persentase perubahan tahunan) |
8.0
|
4.7
|
-13.6
|
Pertumbuhan Inflasi
(persentase perubahan tahunan) |
6.5
|
11.6
|
65.0
|
Sumber: Hill, H. (2000). The Indonesian Economy, h.
264
Kesepakatan ketiga dengan IMF ditandatangani pada bulan April 1998.
Perekonomian Indonesia dan indikator-indikator sosial masih menunjukkan
tanda-tanda mengkhawatirkan. Namun kali ini IMF lebih fleksibel dalam
tuntutannya dibandingkan sebelumnya. Misalnya, subsidi pangan yang besar untuk
rumah tangga berpenghasilan rendah diberikan dan defisit anggaran dibiarkan
melebar. Akan tetapi IMF juga menyerukan privatisasi perusahaan milik
negara, tindakan cepat untuk melakukan restrukturisasi perbankan, pembuatan
hukum kepailitan baru dan pengadilan baru untuk menangani kasus-kasus
kepailitan. IMF juga bersikeras untuk terlibat lebih dekat dalam memantau
pelaksanaan program-programnya karena pengalaman yang lalu menunjukkan bahwa
pemerintah Indonesia tidak sepenuhnya berkomitmen untuk melaksanakan agenda
reformasi.
Pokok-pokok dari program IMF adalah sebagai berikut:
1.
Kebijakan
makro-ekonomi
1.
Kebijakan fiscal
2. Kebijakan moneter dan nilai tukar
2.
Restrukturisasi
sektor keuangan
1. Program restrukturisasi bank
2. Memperkuat aspek hukum dan pengawasan
untuk perbankan
3.
Reformasi structural
1. Perdagangan luar negeri dan investasi
2. Deregulasi dan swastanisasi
3. Social safety net
4. Lingkungan hidup.
Setelah pelaksanaan reformasi kedua ini kembali menghadapi berbagai
hambatan, maka diadakanlah negosiasi ulang yang menghasilkan supplementary
memorandum pada tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix
dan satu matriks. Cakupan memorandum ini lebih luas dari kedua persetujuan
sebelumnya, dan aspek baru yang masuk adalah penyelesaian utang luar negeri
perusahaan swasta Indonesia. Jadwal pelaksanaan masing-masing program dirangkum
dalam matriks komitmen kebijakan struktural. Strategi yang akan dilaksanakan
adalah:
1.
Menstabilkan rupiah
pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia;
2.
Memperkuat dan
mempercepat restrukturisasi sistim perbankan;
3.
Memperkuat
implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien dan
berdaya saing;
4.
Menyusun kerangka
untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta;
5.
Kembalikan
pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor bisa bangkit
kembali.
Ke tujuh appendix adalah masing-masing:
1.
Kebijakan moneter dan
suku bunga
2.
Pembangunan sektor
perbankan
3.
Bantuan anggaran
pemerintah untuk golongan lemah
4.
Reformasi BUMN dan
swastanisasi
5.
Reformasi structural
6.
Restrukturisasi utang
swasta
7.
Hukum Kebangkrutan
dan reformasi yuridis.
Prioritas utama dari
program IMF ini adalah restrukturisasi sektor perbankan. Pemerintah akan terus
menjamin kelangsungan kredit murah bagi perusahaan kecilmenengah dan koperasi
dengan tambahan dana dari anggaran pemerintah (butir 16 dan 20 dari Suplemen).
Awal Mei 1998 telah dilakukan pencairan kedua sebesar US$ 989,4 juta dan jumlah
yang sama akan dicairkan lagi berturut-turut awal bulan Juni dan awal bulan
Juli, bila pemerintah dengan konsekuen melaksanakan program IMF. Sementara itu
Menko Ekuin/ Kepala Bappenas menegaskan bahwa “Dana IMF dan sebagainya memang
tidak kita gunakan untuk intervensi, tetapi untuk mendukung neraca pembayaran
serta memberi rasa aman, rasa tenteram, dan rasa kepercayaan terhadap
perekonomian bahwa kita memiliki cukup devisa untuk mengimpor dan memenuhi
kewajiban-kewajiban luar negeri” (Kompas, 6 Mei 1998). Pencairan berikutnya
sebesar US$ 1 milyar yang dijadwalkan awal bulan Juni baru akan terlaksana awal
bulan September ini.
KRITIK
TERHADAP IMF
Banyak kritik yang
dilontarkan oleh berbagai pihak ke alamat IMF dalam hal menangani krisis
moneter di Asia, yang paling umum adalah bahwa:
1.
Program IMF terlalu
seragam, padahal masalah yang dihadapi tiap negara tidak seluruhnya sama; dan
2.
Program IMF terlalu
banyak mencampuri kedaulatan negara yang dibantu (Fischer, 1998b).
Radelet dan Sachs
secara gamblang menyatakan bahwa bantuan IMF kepada tiga negara Asia (Thailand,
Korea dan Indonesia) telah gagal. Setelah melihat program penyelematan IMF di
ketiga negara tersebut, timbul kesan yang kuat bahwa IMF sesungguhnya tidak
menguasai permasalahan dari timbulnya krisis, sehingga tidak bisa keluar dengan
program penyelamatan yang tepat. Salah satu pemecahan standar IMF adalah
menuntut adanya surplus dalam anggaran belanja negara, padahal dalam hal
Indonesia anggaran belanja negara sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 hampir
selalu surplus, meskipun surplus ini ditutup oleh bantuan luar negeri resmi
pemerintah. Adalah kebijakan dari Orde Baru untuk menjaga keseimbangan dalam
anggaran belanja negara, dan prinsip ini terus dipegang. Selama ini tidak ada
pencetakan uang secara besar-besaran untuk menutup anggaran belanja negara yang
defisit, dan tidak ada tingkat inflasi yang melebihi 10%. Memang dalam anggaran
belanja negara tahun 1998/1999 terdapat defisit anggaran yang besar, namun ini
bukan disebabkan karena kebijakan deficit financing dari pemerintah, tetapi
oleh karena nilai tukar rupiah yang terpuruk terhadap dollar AS. Semakin jatuh
nilai tukar rupiah, semakin besar defisit yang terjadi dalam anggaran belanja.
Karena itu pemecahan utamanya adalah bagaimana mengembalikan nilai tukar rupiah
ke tingkat yang wajar. J. Stiglitz, pemimpin ekonom Bank Dunia, mengkritik
bahwa prakondisi IMF yang teramat ketat terhadap negara-negara Asia di tengah
krisis yang berkepanjangan berpotensi menyebabkan resesi yang berkepanjangan.
Kemudian berlakunya praktek apa yang dinamakan “konsensus Washington”, yaitu
negara pengutang lazimnya harus mendapatkan restu pendanaan dari pemerintah AS,
yang pada dasarnya hanya memperluas kesempatan ekonomi AS. (Kompas, 13 Mei
1998). Kabar terakhir menyebutkan bahwa pencairan bantuan tahap ketiga awal
Juni ni akan tertunda lagi atas desakan pemerintah AS yang dikaitkan dengan
perkembangan reformasi politik di Indonesia, dan ini akan menunda cairnya
bantuan dari sumber-sumber lain (Hartcher dan Ryan).
Anwar Nasution
mengkritik bahwa reformasi ekonomi yang disarankan IMF bentuknya masih
samar-samar. Tidak ada penjelasan rinci, bagaimana caranya untuk meningkatkan
penerimaan pemerintah dan mengurangi pengeluaran pemerintah untuk mencapai
sasaran surplus anggaran sebesar 1% dari PDB dalam tahun fiskal 1998/99, dan
bagaimana ingin dicapai sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 3%. Harapan
satu-satunya adalah peningkatan ekspor non-migas, namun kelemahan utama dari
IMF adalah tidak ada program yang jelas untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan
biaya produksi untuk mendorong ekspor non-migas. (Nasution: 27-28).
Penasehat khusus IMF
untuk Indonesia (P.R. Narvekar) sendiri juga dikutip sebagai mengatakan bahwa
“IMF kerap menerapkan standar ganda dalam pengambilan keputusan. Di satu pihak,
perwakilan IMF mewakili negara dan pemerintahan dengan kebijakan dan visi
politik masing-masing, sementara keputusan yang diambil harus mengacu pada
fakta konkret ekonomi. Karenanya, ada saja peluang bahwa tudingan atas
pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang makin marak belakangan ini,
menjadi hal yang disoroti Dewan Direktur IMF dalam pengambilan keputusannya
pekan depan”. Demikianpun halnya dengan Bank Dunia. (Kompas, 2 Mei 1998).
Sri Mulyani
mengemukakan, bahwa di bidang kebijaksanaan makro IMF tidak memperlihatkan
adanya konsistensi antarinstrumen kebijaksanaan. Di satu pihak IMF memberikan
kelenturan dengan mengizinkan dipertahankannya subsidi dan menyediakan dana
untuk menciptakan jaringan keselamatan sosial, sedang di lain pihak menganut
kebijaksanaan moneter yang kontraktif. Kedua kebijaksanaan ini bisa memandulkan
efektivitas kebijaksanaan makro, terutama dalam rangka stabilitas nilai tukar
dan inflasi. (Sri Mulyani: 72). “Secara makro ancaman kegagalan terbesar
kesepakatan ketiga ini berasal dari kebijaksanaan moneter yang masih ambivalen,
karena keharusan BI melakukan fungsi lender of last resort bagi perbankan
nasional, yang bertentangan dengan tema pengetatan, juga ketidak sejalanan
kebijaksanaan moneter dan fiskal” (Sri Mulyani: 72).
Saran IMF menutup
sejumlah bank yang bermasalah untuk menyehatkan sistim perbankan Indonesia pada
dasarnya adalah tepat, karena cara pengelolaan bank yang amburadul dan tidak
mengikuti peraturan, namun dampak psikologisnya dari tindakan ini tidak
diperhitungkan. Masyarakat kehilangan kepercayaan kepada otoritas moneter, Bank
Indonesia dan perbankan nasional, sehingga memperparah keadaan dan masyarakat
beramai-ramai memindahkan dananya dalam jumlah besar ke bank-bank asing dan
pemerintah atau ditaruh di rumah, yang menimbulkan krisis likuiditas perbankan
nasional yang gawat. Hal ini juga diakui oleh IMF (butir 14, 15 dan 24 dari
persetujuan IMF tanggal 15 Januari 1998).
Pertanyaan mendasar
yang harus ditujukan kepada IMF menurut penulis adalah sejauh mana IMF bersungguh-sungguh
dalam hal membantu mengatasi krisis ekonomi yang sedang melanda Indonesia
dewasa ini? Apakah sama seperti kesungguhan Amerika Serikat ketika membantu
Meksiko bersama-sama dengan IMF dan negara-negara maju lainnya yang berhasil
menggalang sebesar hampir US$ 48 milyar Januari 1995? Setelah mencapai titik
terendah tahun 1995, perekonomian Meksiko dengan cepat pada tahun 1996 dapat
bangkit kembali. Rencana IMF untuk mencairkan bantuannya secara bertahap dalam
jarak waktu yang cukup jauh menunjukkan bahwa IMF menekan Indonesia untuk
menjalankan programnya secara ketat dan membiarkan keadaan ekonomi Indonesia
terus merosot menuju resesi yang berkepanjangan. Dengan menahan pencairan
bantuan tahap kedua dan setelah diundur, hanya dicicil US$ 1 milyar dari jumlah
US$ 3 milyar, ditambah jarak yang cukup lama antara paket bantuan pertama dan
kedua, menyulitkan pemulihan ekonomi Indonesia secara cepat, menghilangkan
kepercayaan terhadap rupiah, bahkan memperparah keadaan. Karena badan
internasional lain dan negara-negara sahabat yang menjanjikan bantuan juga
menunggu signal dari IMF, berhubung semua bantuan tambahan yang besarnya
mencapai US$ 27 milyar dikaitkan dengan cairnya bantuan IMF. Di lain pihak,
kita juga perlu berterima kasih kepada IMF karena dengan menunda mencairkan
bantuannya, IMF sedikit banyak mempunyai andil dalam perjuangan menggulirkan
tuntutan reformasi politik, ekonomi dan hukum di Indonesia yang pada akhirnya
bermuara pada mundurnya Presiden Soeharto.
Saran IMF untuk
menstabilkan nilai tukar adalah dengan menerapkan kebijakan uang ketat,
menaikkan suku bunga dan mengembalikan kepercayaan terhadap kebijakan ekonomi,
dari waktu ke waktu mengadakan intervensi terbatas di pasar valas dengan
petunjuk IMF (lihat butir 14, 16, 17, 21 dari persetujuan 15 Januari 1998;
butir 5, 7 dari Suplemen). Sayangnya tidak ada program khusus yang secara
langsung ditujukan untuk menguatkan kembali nilai tukar rupiah, juga tidak ada
Appendix untuk masalah ini. IMF tidak memecahkan permasalahan yang utama dan yang
paling mendesak secara langsung. IMF bisa saja terlebih dahulu mengambil
kebijakan memprioritaskan stabilisasi nilai tukar rupiah, kalau mau, dengan
mencairkan dana bantuan yang relatif besar pada bulan November lalu, yang
didukung oleh bantuan dana dari World Bank, Asian Development Bank dan
negara-negara sahabat. Dengan demikian timbulnya krisis kepercayaan yang
berkepanjangan dapat dicegah. IMF sendiri tampaknya tidak tahu apa yang harus
dilakukannya dan berputarputar pada kebijakan surplus anggaran, uang ketat,
tingkat bunga tinggi, pembenahan sektor riil yang memang perlu dan sudah sangat
mendesak, dan titipan-titipan khusus dari negaranegara maju yaitu membuka
peluang investasi yang seluas-luasnya bagi mereka dengan menggunakan kesempatan
dalam kesempitan Indonesia.
Di lain pihak memang
harus diakui bahwa tekanan ini perlu untuk memastikan kesungguhan Indonesia,
karena untuk beberapa tindakan memang ada tanda-tanda kekurang sungguhan di
pihak Indonesia. Tidak adanya program dari IMF yang jelas dan berjangka pendek
untuk mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar dan
menstabilkannya membuat pemerintah cukup lama terombang-ambing antara memilih
program IMF atau currency board system, yang justru menjanjikan kepastian dan
kestabilan nilai tukar pada tingkat yang wajar.
Krisis ekonomi yang
tengah berlangsung ini memang bukan tanggung-jawab IMF dan tidak bisa
dipecahkan oleh IMF sendiri. Namun kekurangan yang paling utama dari IMF adalah
bahwa IMF dalam program bantuannya tidak mencari pemecahan terhadap masalah
yang pokok dan sangat mendesak ini dan berputar-putar pada reformasi struktural
yang dampaknya jangka panjang. Bila semua kekuatan bantuan ini dikumpulkan
sekaligus secara dini, maka hal ini dengan cepat akan memulihkan kembali
kepercayaan masyarakat dalam negeri dan internasional. Namun bantuan dana IMF
dan ketergantungan harapan pada IMF ini di(salah)gunakan untuk menekan
pemerintah Indonesia untuk melaksanakan reformasi struktural secara
besar-besaran. Ibaratnya orang yang sudah hampir tenggelam diombang-ambing
ombak laut tidak segera ditolong dengan dilempari pelampung, tapi disuruh
belajar berenang dahulu.
Reformasi struktural
sebagaimana yang dianjurkan oleh IMF memang mendasar dan penting, tetapi dampak
hasilnya baru bisa dirasakan dalam jangka panjang, sementara pemecahan
masalahnya sudah sangat mendesak, di mana makin ditunda makin banyak perusahaan
yang jatuh bergelimpangan. Banyak perusahaan yang mengandalkan pasaran dalam
negeri tidak bisa menjual barang hasil produksinya karena perusahaan-perusahaan
ini umumnya memiliki kandungan impor yang tinggi dan harga jualnya menjadi
tidak terjangkau dengan semakin jatuhnya nilai tukar rupiah. Jadi, utang luar
negeri swasta dan nilai tukar rupiah yang merosot jauh dari nilai riilnya adalah
masalah-masalah dasar jangka pendek, yang lama tidak disinggung oleh IMF. Di
sini timbul keragu-raguan akan kemurnian kebijakan reformasi IMF, sehingga
timbul teka-teki, apakah IMF benar-benar tidak melihat inti permasalahannya
atau berpura-pura tidak tahu? Atau IMF mengambil kesempatan dalam kesempitan
untuk memaksakan perubahan-perubahan yang sudah lama menjadi duri di matanya
dan bagi Bank Dunia serta mewakili kepentingan-kepentingan asing? Tampaknya di
balik anjuran program pemulihan kegiatan ekonomi ada titipan-titipan politik
dan ekonomi dari negara-negara besar tertentu. Program reformasi IMF secara
mencurigakan mengulang kembali tuntutan-tuntutan deregulasi ekonomi yang sudah
sejak bertahun-tahun didengungkan oleh Bank Dunia dan belum sepenuhnya dilaksanakan
oleh pemerintah Indonesia. Permintaan IMF untuk menghentikan dengan segera
perlakuan pembebasan pajak dan kemudahan kredit untuk proyek mobil nasional dan
IPTN adalah tepat, karena dalam jangka pendek proyek ini akan mengacaukan
kebijakan pemerintah di bidang fiskal, anggaran dan moneter secara berarti.
Juga saran IMF untuk menghapuskan subsidi BBM dan listrik yang kian membesar
secara bertahap dalam jangka waktu tiga tahun sudah benar. Subsidi listrik
relatif lebih mudah untuk dihapuskan, yakni melalui subsidi silang sehingga
masyarakat berpenghasilan rendah tetap dikenakan tarif listrik yang murah dan
melalui peningkatan efisiensi, misalnya penagihan yang lebih efektif. Namun
penurunan subsidi BBM dan listrik oleh pemerintah secara drastis dan mendadak
pada tanggal 4 Mei 1998 yang lalu mempunyai dampak yang sangat luas terhadap
perekonomian rakyat kecil, meskipun kepentingan rakyat kecil sangat
diperhatikan dengan adanya jaringan keselamatan sosial. Tindakan drastis ini
sedikit-banyak telah membantu memicu terjadinya kerusuhan-kerusuhan sosial dan
politik. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah, apakah pemerintah tidak bisa
menunda kenaikan BBM dan listrik untuk beberapa bulan, menunggu keresahan
masyarakat reda? Di sini pemerintah salah membaca isi dari kesepakatan dengan
IMF, karena IMF menganjurkan penghapusan subsidi secara bertahap dan tidak
secara mendadak. Dalam suplemen program IMF April 1998 disebutkan bahwa subsidi
masih bisa diberikan kepada beberapa jenis barang yang banyak dikonsumsi oleh
penduduk berpenghasilan rendah seperti bahan makanan, BBM dan listrik. Dalam
situasi sekarang hampir tidak ada peluang untuk meningkatkan pajak. Baru pada
tanggal 1 Oktober 1998 direncanakan subsidi akan diturunkan secara berarti.
(butir 10 dan 11 dari Suplemen). Subsidi untuk bahan pangan, BBM dan listrik
sudah diperhitungkan dan dinaikkan dalam anggaran pemerintah (butir 20 dari
Suplemen). Membengkaknya subsidi ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
kinerja yang kurang efisien, tagihan listrik dalam jumlah besar yang tidak
dibayar, tetapi sebab utama karena merosotnya nilai tukar rupiah. Jadi tindakan
yang pokok adalah pertama mengembalikan dulu nilai rupiah ke tingkat yang wajar
dan dari sini baru menghitung besarnya subsidi. Tidak bisa biaya produksi
dihitung atas dasar nilai tukar dengan dollar AS yang masih relatif tinggi lalu
dibebankan kepada konsumen, sementara pendapatan masyarakat adalah dalam rupiah
yang tidak berubah sejak sebelum terjadinya krisis moneter, kalau tidak menurun
dan banyaknya PHK. Keadaan ini tidak sebanding, kita harus melihat sebab-sebab
lain di balik kenaikan biaya produksi. Halnya akan lain, bila pendapatan
masyarakat dalam rupiah juga ikut naik dua atau tiga kali lipat sesuai dengan
kenaikan nilai tukar dollar AS, seperti orang asing yang tinggal di Indonesia
misalnya.
Dalam kaitan ini
perlu dipertanyakan, siapa yang menjadi penyebab dari terjadinya krisis yang
berkepanjangan ini, sehingga nilai tukar valas naik sangat tinggi dan siapa
yang menarik keuntungan dari krisis ini? Janganlah rakyat banyak diminta untuk
berkorban mengatasi krisis ini atau membebankan di atas penderitaan rakyat
dengan misalnya menaikkan harga BBM dan tarif listrik. Di antara saran-saran
IMF juga ada yang mengenai perluasan penyertaan modal asing dalam kegiatan
ekonomi Indonesia yang terlalu jauh. Modal asing sudah diberi peluang yang
cukup besar untuk investasi di Indonesia dengan diperbolehkannya kepemilikan
hingga 100% baik untuk pendirian PMA, bank asing maupun penguasaan saham dari
perusahaan-perusahaan yang telah go public, kecuali saham bank nasional yang go
public. Meskipun demikian IMF masih meminta dihapuskannya larangan membuka
cabang bagi bank asing, izin investasi di bidang perdagangan besar dan eceran,
dan liberalisasai perdagangan yang jauh lebih liberal dari komitmen resmi
pemerintah di forum WTO, AFTA dan APEC. Masalahnya bukan sentimen nasionalisme,
tetapi apa sumbangan dari keterbukaan ini terhadap restrukturisasi ekonomi dari
program IMF, stabilisasi ekonomi dan moneter, dan apa sumbangannya terhadap
pemasukan modal asing? Bukan masalah anti asing atau sentimen nasionalisme yang
sempit, tetapi apa salahnya bila pemerintah menyisakan bidang kegiatan untuk
pengusaha Indonesia, terutama yang bermodal kecil? Apa permintaan IMF ini tidak
terlalu jauh? Kedengarannya seperti IMF menerima titipan pesan sponsor dari
negara-negara besar yang ingin memaksakan kepentingannya dengan menggunakan
kesempatan dalam kesempitan.
Saran IMF lainnya
yang disisipkan dalam persetujuan dan tidak ada kaitannya dengan program
stabilisasi ekonomi dan moneter adalah desakannya untuk menyusun Undang- Undang
Lingkungan Hidup yang baru (butir 50 dari persetujuan IMF tanggal 15 Januari
1998). Ikut campurnya IMF dalam penyelesaian utang swasta adalah sangat baik,
karena IMF sebagai lembaga yang disegani bisa banyak membantu memulihkan
kepercayaan kreditor luar negeri, yang akan memperlancar dan mempercepat proses
penyelesaian utang. IMF bisa bertindak sebagai perantara yang netral dan
dipercaya.
KRISIS MENCAPAI PUNCAKNYA
KRISIS MENCAPAI PUNCAKNYA
Sementara itu,
kekuatan-kekuatan sosial utama juga sedang bekerja. Aksi demonstrasi dan kritik
yang ditujukan terhadap pemerintah Suharto semakin meningkat setelah ia
terpilih kembali sebagai presiden dan membentuk kabinet baru pada bulan Maret
1998. Kabinet baru yang provokatif ini berisi sejumlah anggota yang berasal
dari kelompok kroninya dan oleh karenanya tidak mampu berbuat banyak untuk
memulihkan kepercayaan terhadap pasar Indonesia. Setelah pemerintah memutuskan
untuk mengurangi subsidi BBM pada awal bulan Mei, kerusuhan berskala besar
terjadi di Medan, Jakarta dan Solo. Meskipun IMF telah memberikan waktu kepada
Suharto sampai dengan Oktober untuk mengurangi subsidi secara bertahap, ia
memutuskan untuk melakukan semuanya sekaligus, mungkin karena terlalu
meremehkan dampaknya atau terlalu percaya diri dengan kekuasaannya sendiri.
Ketegangan mencapai puncaknya setelah empat orang mahasiswa Indonesia tewas
pada waktu melakukan demonstrasi di sebuah universitas lokal di Jakarta. Diduga
penembakan tersebut dilakukan oleh pasukan tentara khusus ('tragedi Trisakti').
Beberapa hari berikutnya Jakarta dilanda kerusuhan sangat buruk. Seperti yang
pernah terjadi sebelumnya, etnis Tionghoa - yang sudah lama dibenci karena
dianggap kaya - banyak menjadi sasaran dalam kerusuhan ini. Toko-toko dan
rumah-rumah milik warga Tionghoa dibakar dan banyak perempuan China diperkosa
secara brutal. Setelah kerusuhan redam, lebih dari seribu orang tewas dan
ribuan bangunan hancur. Pada tanggal 14 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri
dari kursi kepresidenan ketika semua politisi menolak untuk bergabung dengan
kabinetbaru yang dibentuknya. Krisis keuangan telah sepenuhnya berubah menjadi
krisi sosial dan politik.
3.3 PENYEBAB KRISIS EKONOMI
Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia
di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia . Yang
dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah,
neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca
berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa
masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit
surplus. Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural seperti
peraturan perdagangan domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor
yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang
bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidak pastian
sehingga masuk dana luar negeri dalam jumlah besar melalui sistim perbankan
yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana dari luar negeri yang sebagian
besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi juga krisis
kepercayaan. Namun semua kelemahan ini masih mampu ditampung oleh perekonomian
nasional. Yang terjadi adalah, mendadak datang badai yang sangat besar, yang
tidak mampu dibendung oleh tembok penahan yang ada, yang selama bertahun-tahun
telah mampu menahan berbagai terpaan gelombang yang datang mengancam.
Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang
selama ini lemah, hal ini dapat dilihat dari data-data statistik di atas,
tetapi terutama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang
besar. Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar
negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat
jauh dari nilai nyatanya1 . Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya
nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan
secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang
swasta luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap
dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro,
ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan lain perkataan, walaupun
distorsi pada tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada
gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena
cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat untuk menahan gempuran ini. Krisis
ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya yang
datangnya saling bersusulan. Analisis dari faktor-faktor penyebab ini penting,
karena penyembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan diagnosa.
Anwar Nasution melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar
negeri, ditambah dengan lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar dari
terjadinya krisis finansial (Nasution: 28). Bank Dunia melihat adanya empat
sebab utama yang bersamasama membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan
Akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli 1997,
sehingga l.k. 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor
swasta ini, dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat
tahun terakhir utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun.
1.
Kelemahan pada sistim
perbankan.
2.
Masalah governance,
termasuk kemampuan pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian
menjelma menjadi krisis kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan
bantuan finansial dengan cepat.
3.
Ketidak pastian
politik menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden
Soeharto pada waktu itu.
Sementara menurut
penilaian penulis, penyebab utama dari terjadinya krisis yang berkepanjangan
ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam,
meskipun ini bukan faktor satu-satunya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang
berbeda menurut sisi pandang masing-masing pengamat. Berikut ini diberikan
rangkuman dari berbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya:
1.
Dianutnya sistim
devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai, memungkinkan
arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas berapapun
jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia menganut rezim devisa
bebas dengan rupiah yang konvertibel, sehingga membuka peluang yang
sebesarbesarnya untuk orang bermain di pasar valas. Masyarakat bebas membuka
rekening valas di dalam negeri atau di luar negeri. Valas bebas diperdagangkan
di dalam negeri, sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di pusat-pusat
keuangan di luar negeri.
2.
Tingkat depresiasi
rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8% (1991)
antara tahun 1988 hingga 1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya,
menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah dengan
kenaikan pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih
cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk dalam negeri yang
makin lama makin kalah bersaing dengan produk impor. Nilai Rupiah yang
overvalued berarti juga proteksi industri yang negatif. Akibatnya harga barang
impor menjadi relatif murah dan produk dalam negeri relatif mahal, sehingga
masyarakat memilih barang impor yang kualitasnya lebih baik. Akibatnya produksi
dalam negeri tidak berkembang, ekspor menjadi kurang kompetitif dan impor
meningkat. Nilai rupiah yang sangat overvalued ini sangat rentan terhadap
serangan dan permainan spekulan, karena tidak mencerminkan nilai tukar yang
nyata.
3.
Akar dari segala
permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah
sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia
cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya (bandingkan
juga Wessel et al.: 22), ditambah sistim perbankan nasional yang lemah.
Akumulasi utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai
jumlah yang sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah
yang beberapa tahun terakhir malah sedikit berkurang (oustanding official
debt). Ada tiga pihak yang bersalah di sini, pemerintah, kreditur dan debitur.
Kesalahan pemerintah adalah, karena telah memberi signal yang salah kepada
pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah terus-menerus overvalued dan suku
bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman dalam rupiah menjadi relatif mahal
dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif murah. Sebaliknya, tingkat
bunga di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian dana ke luar
negeri dan agar masyarakat mau mendepositokan dananya dalam rupiah. Jadi di
sini pemerintah dihadapi dengan buah simalakama. Keadaan ini menguntungkan
pengusaha selama tidak terjadi devaluasi dan ini terjadi selama bertahun-tahun
sehingga memberi rasa aman dan orang terus meminjam dari luar negeri dalam
jumlah yang semakin besar. Dengan demikian pengusaha hanya bereaksi atas signal
yang diberikan oleh pemerintah. Selain itu pemerintah sama sekali tidak
melakukan pengawasan terhadap utang-utang swasta luar negeri ini, kecuali yang
berkaitan dengan proyek pemerintah dengan dibentuknya tim PKLN. Bagi debitur
dalam negeri, terjadinya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar ini, di
samping lebih menguntungkan, juga disebabkan suatu gejala yang dalam teori
ekonomi dikenal sebagai fallacy of thinking2 , di mana pengusaha beramai-ramai
melakukan investasi di bidang yang sama meskipun bidangnya sudah jenuh, karena
masing-masing pengusaha hanya melihat dirinya sendiri saja dan tidak
memperhitungkan gerakan pengusaha lainnya. Pihak kreditur luar negeri juga ikut
bersalah, karena kurang hati-hati dalam memberi pinjaman dan salah
mengantisipasi keadaan (bandingkan IMF, 1998: 5). Jadi sudah sewajarnya, jika
kreditur luar negeri juga ikut menanggung sebagian dari kerugian yang diderita
oleh debitur.
Kalau masalahnya
hanya menyangkut utang luar negeri pemerintah saja, meskipun masalahnya juga
cukup berat karena selama bertahun-tahun telah terjadi net capital outflow3
yang kian lama kian membesar berupa pembayaran cicilan utang pokok dan bunga,
namun masih bisa diatasi dengan pinjaman baru dan pemasukan modal luar negeri
dari sumber-sumber lain. Beda dengan pinjaman swasta, pinjaman luar negeri
pemerintah sifatnya jangka panjang, ada tenggang waktu pembayaran, tingkat
bunganya relatif rendah, dan tiap tahunnya ada pemasukan pinjaman baru.
Pada awal Mei 1998
besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan diperkirakan berkisar
antara US$ 63 hingga US$ 64 milyar, sementara utang pemerintah US$ 53,5 milyar.
Sebagian besar dari pinjaman luar negeri swasta ini tidak di hedge (Nasution:
12). Sebagian orang Indonesia malah bisa hidup mewah dengan menikmati selisih
biaya bunga antara dalam negeri dan luar negeri (Wessel et al., hal. 22),
misalnya bank-bank. Maka beban pembayaran utang luar negeri beserta bunganya
menjadi tambah besar yang dibarengi oleh kinerja ekspor yang melemah
(bandingkan IDE). Ditambah lagi dengan kemerosotan nilai tukar rupiah yang
tajam yang membuat utang dalam nilai rupiah membengkak dan menyulitkan
pembayaran kembalinya.
Pinjaman luar negeri
dan dana masyarakat yang masuk ke sistim perbankan, banyak yang dikelola secara
tidak prudent, yakni disalurkan ke kegiatan grupnya sendiri dan untuk
proyek-proyek pembangunan realestat dan kondomium secara berlebihan sehingga
jauh melampaui daya beli masyarakat, kemudian macet dan uangnya tidak kembali
(Nasution: 28; Ehrke: 3). Pinjaman-pinjaman luar negeri dalam jumlah relatif
besar yang dilakukan oleh sistim perbankan sebagian disalurkan ke sektor
investasi yang tidak menghasilkan devisa (non-traded goods) di bidang tanah
seperti pembangunan hotel, resort pariwisata, taman hiburan, taman industri,
shopping malls dan realestat (Nasution: 9; IMF Research Department Staff: 10).
Proyek-proyek besar ini umumnya tidak menghasilkan barang-barang ekspor dan
mengandalkan pasar dalam negeri, maka sedikit sekali pemasukan devisa yang bisa
diandalkan untuk membayar kembali utang luar negeri. Krugman melihat bahwa para
financial intermediaries juga berperan di Thailand dan Korea Selatan dengan
moral nekat mereka, yang menjadi penyebab utama dari krisis di Asia Timur.
Mereka meminjamkan pada proyek-proyek berisiko tinggi sehingga terjadi
investasi berlebihan di sektor tanah (Krugman, 1998; Greenwood). Mereka mulai
mencari dollar AS untuk membayar utang jangka pendek dan membeli dollar AS
untuk di hedge (World Bank, 1998, hal. 1.4).
4.. Permainan yang dilakukan
oleh spekulan yang dikenal sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung
dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena
praktek margin trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil bermain
dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendiri sudah menjadi komoditi
perdagangan, lepas dari sektor riil. Para spekulan ini juga meminjam dari
sistim perbankan untuk memperbesar pertaruhan mereka. Itu sebabnya mengapa Bank
Indonesia memutuskan untuk tidak intervensi di pasar valas karena tidak akan
ada gunanya. Meskipun pada awalnya spekulan asing ikut berperan, tetapi mereka
tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas pecahnya krisis moneter ini. Sebagian
dari mereka ini justru sekarang menderita kerugian, karena mereka membeli
rupiah dalam jumlah cukup besar ketika kurs masih di bawah Rp. 4.000 per dollar
AS dengan pengharapan ini adalah kurs tertinggi dan rupiah akan balik menguat,
dan pada saat itu mereka akan menukarkan kembali rupiah dengan dollar AS
(Wessel et al.,hal.1) Namun pemicu adalah krisis moneter kiriman yang berawal dari Thailand
antara Maret sampai Juni 1997, yang diserang terlebih dahulu oleh spekulan dan
kemudian menyebar ke negara Asia lainnya termasuk Indonesia. Krisis moneter
yang terjadi sudah saling kait-mengkait di kawasan Asia Timur dan tidak bisa
dipisahkan satu sama lainnya (butir 16 dari persetujuan IMF 15 Januari 1998).
5. Kebijakan fiskal dan
moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita batas
intervensi. Sistim ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah dan
mengundang tindakan spekulasi ketika sistim batas intervensi ini dihapus pada
tanggal 14 Agustus 1997 (Nasution: 2). Terkesan tidak adanya kebijakan
pemerintah yang jelas dan terperinci tentang bagaimana mengatasi krisis (Nasution:
1) dan keadaan ini masih berlangsung hingga saat ini. Ketidak mampuan
pemerintah menangani krisis menimbulkan krisis kepercayaan dan mengurangi
kesediaan investor asing untuk memberi bantuan finansial dengan cepat (World
Bank, 1998: 1.10).
6. Defisit neraca berjalan
yang semakin membesar (IMF Research Department Staff: 10; IDE), yang disebabkan
karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor dan
melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah nilai tukar rupiah yang
sangat overvalued, yang membuat harga barang-barang impor menjadi relatif murah
dibandingkan dengan produk dalam negeri.
7. Penanam modal asing
portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran dimingimingi keuntungan
yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif stabil
kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar (bandingkan World
Bank, 1998, hal. 1.3, 1.4; Greenwood). Selisih tingkat suku bunga dalam negeri
dengan luar negeri yang besar dan kemungkinan memperoleh keuntungan yang
relatif besar dengan cara bermain di bursa efek, ditopang oleh tingkat
devaluasi yang relatif stabil sekitar 4% per tahun sejak 1986 menyebabkan
banyak modal luar negeri yang mengalir masuk. Setelah nilai tukar Rupiah tambah
melemah dan terjadi krisis kepercayaan, dana modal asing terus mengalir ke luar
negeri meskipun dicoba ditahan dengan tingkat bunga yang tinggi atas
surat-surat berharga Indonesia (Nasution: 1, 11). Kesalahan juga terletak pada
investor luar negeri yang kurang waspada dan meremehkan resiko (IMF, 1998: 5).
Krisis ini adalah krisis kepercayaan terhadap rupiah (World Bank, 1998, p.
2.1).
8. IMF tidak membantu
sepenuh hati dan terus menunda pengucuran dana bantuan yang dijanjikannya
dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan dengan baik.
Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu Indonesia juga menunda
mengucurkan bantuannya menunggu signal dari IMF, padahal keadaan perekonomian
Indonesia makin lama makin tambah terpuruk. Singapura yang menjanjikan l.k. US$
5 milyar meminta pembayaran bunga yang lebih tinggi dari pinjaman IMF,
sementara Brunei Darussalam yang menjanjikan l.k. US$ 1 milyar baru akan
mencairkan dananya sebagai yang terakhir setelah semua pihak lain yang berjanji
akan membantu telah mencairkan dananya dan telah habis terpakai. IMF sendiri
dinilai banyak pihak telah gagal menerapkan program reformasinya di Indonesia
dan malah telah mempertajam dan memperpanjang krisis.
9. Spekulan domestik ikut
bermain. Para spekulan inipun tidak semata-mata menggunakan dananya sendiri,
tetapi juga meminjam dana dari sistim perbankan untuk bermain.
10. Terjadi krisis
kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli
dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik keuntungan
dari merosotnya nilai tukar rupiah. Terjadilah snowball effect, di mana serbuan
terhadap dollar AS makin lama makin besar. Orang-orang kaya Indonesia, baik
pejabat pribumi dan etnis Cina, sudah sejak tahun lalu bersiap-siap
menyelamatkan harta kekayaannya ke luar negeri mengantisipasi ketidak stabilan
politik dalam negeri. Sejak awal Desember 1997 hingga awal Mei 1998 telah
terjadi pelarian modal besar-besaran ke luar negeri karena ketidak stabilan
politik seperti isu sakitnya Presiden dan Pemilu. Kerusahan besar-besaran pada
pertengahan Mei yang lalu yang ditujukan terhadap etnis Cina telah menggoyahkan
kepercayaan masyarakat ini akan keamanan harta, jiwa dan martabat mereka.
Padahal mereka menguasai sebagian besar modal dan kegiatan ekonomi di Indonesia
dengan akibat mereka membawa keluar harta kekayaan mereka dan untuk sementara
tidak melaukan investasi baru.
11 Terdapatnya keterkaitan
yang erat dengan yen Jepang, yang nilainya melemah terhadap dollar AS (lihat
IDE). Setelah Plaza-Accord tahun 1985, kurs dollar AS dan juga mata uang
negara-negara Asia Timur melemah terhadap yen Jepang, karena mata uang
negaranegara Asia ini dipatok dengan dollar AS. Daya saing negara-negara Asia
Timur meningkat terhadap Jepang, sehingga banyak perusahaan Jepang melakukan
relokasi dan investasi dalam jumlah besar di negara-negara ini. Tahun 1995 kurs
dollar AS berbalik menguat terhadap yen Jepang, sementara nilai utang dari
negara-negara ini dalam dollar AS meningkat karena meminjam dalam yen, sehingga
menimbulkan krisis keuangan.
Di lain pihak harus
diakui bahwa sektor riil sudah lama menunggu pembenahan yang mendasar, namun
kelemahan ini meskipun telah terakumulasi selama bertahun-tahun masih bisa
ditampung oleh masyarakat dan tidak cukup kuat untuk menjungkir-balikkan
perekonomian Indonesia seperti sekarang ini. Memang terjadi dislokasi
sumber-sumber ekonomi dan kegiatan mengejar rente ekonomi oleh
perorangan/kelompok tertentu yang menguntungkan mereka ini dan merugikan rakyat
banyak dan perusahaan-perusahaan yang efisien. Subsidi pangan oleh BULOG,
monopoli di berbagai bidang, penyaluran dana yang besar untuk proyek IPTN dan
mobil nasional. Timbulnya krisis berkaitan dengan jatuhnya nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luar negeri, dan kurang
dipengaruhi oleh sektor riil dalam negeri, meskipun kelemahan sektor riil dalam
negeri mempunyai pengaruh terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Membenahi
sektor riil saja, tidak memecahkan permasalahan.
Dunia kembali
diguncang krisis di tahun 2014 ini.
Mata uang negara emerging market alias negara berkembang tengah terjun bebas
terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Akibatnya, negara-negara berkembang
terancam krisis keuangan. Pasar saham berjatuhan, nilai tukar
rontok, harga minyak jatuh, suku bunga naik. Kondisinya memang serupa tapi tak
sama dengan krisis tahun 1998.Pada tahun 1997/1998, negara-negara berkembang
mengalami kejatuhan yang dahsyat. Selain Asia, Venezuela juga terjatuh ke
jurang krisis, sementara Rusia masuk ke kondisi gagal bayar utang dan
devaluasi. Apa yang terjadi pada tahun 2014 ini hampir sama. Namun, dampaknya
tidak sedahsyat kondisi 16 tahun silam karena telah terjadi sejumlah perubahan
fundamental. Perbandingkan fakta-fakta antara kondisi tahun 1998 dan 2014.
Persamaan
1. Dari sisi kejatuhan harga minyak mentah dunia.
Sejak Juni hingga
penghujung tahun 2014, harga minyak tercatat merosot hingga 48 persen menjadi
USD 55 per barel. Kondisi itu langsung menghantam negara-negara eksportir mulai
dari Venezuela hingga Rusia dan Nigeria.
Menurut data yang
dirangkumBloomberg, Credit default swap (CDS) menunjukkan 97 persen
kemungkinan Venezuela akan mengalami gagal bayar utang dalam lima tahun.
Perekonomian Rusia yang kini sedang terkena sanksi dari AS dan Uni Eropa
terkait konflik Ukraina diproyeksi akan mengalami kontraksi 4,7 persen tahun
2015 jika harga minyak tetap USD 60 per barel.
2. Dari sisi nilai tukar mata uang.
Berdasarkan penelusuran Bloomberg terhadap 20 mata uang emerging market paling banyak diperdagangkan, terjadi
penurunan ke titik terendah sejak tahun 2003. Rubel tercatat merosot melewati
level 64 per dolar untuk pertama kalinya. Lira juga merosot ke titik
terendahnya, sementara rupiah terendah sejak tahun 1998. Pada masa krisis finansial Asia tahun
1997 dan 1998, negara-negara Asia dari Thailand, Indonesia hingga Malaysia
harus berjuang mati-matian mempertahankan mata uangnya. Baht tercatat mengalami
kemerosotan paling besar, nilainya terpangkas hingga setengahnya dalam enam
bulan. Hal itu menyebabkan cadangan devisa negara terkuras habis. Warga Korea
Selatan bahkan turun ke jalanan untuk mendonasikan perhiasan emasnya untuk
membantu pemerintah menambah cadangan devisa sehingga bisa membantu
mempertahankan mata uangnya.
3. Kebijakan Bank Sentral AS.
Bank Sentral AS mulai bersiap untuk menaikkan suku
bunga untuk pertama kalinya sejak tahun 2006, sehingga mengancam arus modal
negara-negara berkembang. Bank Dunia tahun lalu memperkirakan bahwa aliran
modal swasta ke negara-negara berkembang bisa merosot hingga 50 persen
seandainya imbal hasil surat utang AS naik satu persen poin. Credit Agricole
CIB memperkirakan negara-negara dengan defisit neraca berjalan besar termasuk
Turki, Afrika Selatan, dan Brasil sangat rentan. Demikian pula negara seperti
Malaysia, yang 30 persen surat utang pemerintahnya dipegang investor asing.
Serangkaian kenaikan suku bunga AS pada pertengahan tahun 1990-an memicu
kejatuhan mata uang Asia yang membuat Rusia mengalami gagal bayar.
Perbedaan:
1)
Mata uang yang
fleksibel.
Negara-negara berkembang saat ini telah membiarkan
mata uangnya berfluktuasi. Sebelum krisis tahun 1998, kebanyakan negara
berkembang mematok mata uangnya. Kondisi ini jelas membuat pembedaan karena
meski mata uang yang melemah akan memicu inflasi, akan tetapi juga dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi karena membuat ekspor menjadi lebih murah.
2)
Cadangan devisa.
Pada saat krisis tahun 1998, cadangan devisa
negara-negara berkembang sangat sedikit sehingga sangat rentan untuk membantu
meredam gejolak pasar. Sementara saat ini, jumlah cadangan devisa sudah sangat
kuat. Data yang dikompilasi oleh IMF dan dikutip dari Bloomberg menunjukkan
bahwa negara-negara berkembang tercatat menguasai cadangan devisa hingga USD
8,1 triliun, dibandingkan hanya USD 659 miliar pada tahun 1999.
Khusus untuk
Indonesia, cadangan devisa kini sudah mencapai USD 111,144 miliar.Jika
bandingkan dengan cadangan devisa Indonesia saat krisis tahun 1998 yang hanya
sebesar USD 14,4 miliar.
3)
Jumlah utang.
Ketimbang meminjam dalam dolar, negara-negara di
dunia kini lebih memilih meminjam dalam mata uang lokal. Hal ini membawa
keuntungan karena mereka bisa membayar utang tanpa perlu menarik cadangan
devisa. Utang luar negeri di negara-negara berkembang tercatat sebesar 26
persen dari PDB pada tahun 2013. Menurut data IMF, angka tersebut menunjukkan
penurunan hingga 40 persen dibandingkan kondisi pada tahun 1999.
Utang pemerintah melegakan, tetapi tidak demikian
dengan utang swasta. Perusahaan-perusahaan di negara berkembang tercatat
menjual surat utang global hingga USD 375 miliar pada periode tahun 2009 hingga
2012. Jumlah itu menurut Bank for International Settlements mencapai dua kali
lipat dibandingkan kondisi empat tahun sebelum terjadinya krisis finansial
tahun 2008.
4)
Tingkat suku bunga.
Tingkat suku bunga di negara-negara berkembang
naik, akan tetapi masih lebih rendah dibandingkan level ketika krisis tahun
1998. Rusia menaikkan suku bunga patokannya sebesar 6,5 persen poin menjadi 17
persen terhitung pada 16 Desember. Sejumlah suku bunga jangka pendek melonjak hingga
100 persen pada tahun 1998.
Di Brasil, pembuat
kebijakan menaikkan suku bunga patokan menjadi 11,75 persen. Akan tetapi,
tingkat suku bunga itu masih setengah dari suku bunga pada tahun 1998. Demikian
pula Indonesia yang menahan suku bunga patokan di level 7,75 persen,
dibandingkan pada tahun 1998 ketika suku bunga mencapai 60 persen.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengemukakan, terkait dengan melemahnya
nilai tukar rupiah akhir-akhir ini, sebenarnya dari sisi fundamental ekonomi
tidak banyak hal yang perlu dikhawatirkan karena memang semua negara sekarang
ini mendapatkan pelemahan nilai tukarnya. “Kita melihat bahwa sebetulnya negara
kita kalau dibandingkan dengan Jepang, Malaysia, apalagi dengan Rusia, kita
berada pada posisi yang masih sangat baik,” kata Jokowi saat memimpin Rapat
Terbatas Perekonomian di kantor Presiden, Jakarta, Rabu (17/12).
Selain itu Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang
Brodjonegoro juga mengatakan
kepada para pewarta dalam konferensi pers keterangan Perkembangan Ekonomi
Indonesia Terkini, di Gedung Frans Seda Kompleks Kementerian Keuangan, Jakarta,
Selasa (10.3) bahwa peleman nilai rupiah di awal 2015
berbeda dengan saat krisis ekonomi dan moneter 1998 silam. "Kondisi
sekarang (2015) berbeda dengan 1998, saat ini memang dolar lagi menguat,
ekonomi AS sedang membaik. Jadi bukan hanya rupiah (yang melemah) tapi mata
uang yang lainnya juga," kata Bambang berharap, masyarakat tidak panik
dengan kondisi melemahnya rupiah yang saat ini mencapai level Rp13.000 per USD.
Berdasarkan kurs transaksi BI Selasa (10/3), nilai
tukar rupiah melemah terhadap dolar AS menjadi 13.124 (kurs jual) /12.994 (kurs
beli) dibandingkan dengan posisi kemarin 13.112/12.982 per dolar AS. Namun
rupiah menguat terhadap euro menjadi 14.211,98/14.068,60 dibanding posisi
kemarin 14.218,65/14.072,49. Nilai tukar rupiah juga menguat terhadap yen
Jepang menjadi 10.788,33/10.679,71 dibanding posisi kemarin sebesar
10.849,81/10.740,46. Rupiah juga menguat terhadap dolar Australia menjadi
10.060,86/9.958,60 dibandingkan dengan nilai kemarin sebesar
10.093,62/9.988,35.
Menurut Presiden, penguatan dolar AS
harus menjadi peluang untuk mendorong industri. “Harus diberikan insentif
agar industri-industri yang berorientasi ekspor itu bisa lebih cepat sehingga
bisa mengambil keuntungan dari posisi pelemahan nilai rupiah ini,” ujarnya. Presiden Jokowi ingin satu pikiran dengan Bank Indonesia
dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar pelemahan rupiah ini tidak
ditanggapi dengan sebuah kecemasan atau kekhawatiran yang tinggi. “Semua negara mengalami ini dan jangan dibandingkan
dengan 1997 dan 1998 karena keadaannya memang berbeda. Saya mengalami sendiri
saat itu,” kata Jokowi.
3.4 Keadaan Ekonomi di Indonesia Pada
Saat Ini Tahun 2015
. Jakarta, 10 Maret 2015 - Kondisi
perekonomian global saat ini masih berada pada fase yang penuh ketidakpastian,
antara lain ditunjukan oleh koreksi proyeksi pertumbuhan perekomian dunia oleh
lembaga-lembaga internasional. Belum kondusifnya perkembangan perekonomian di
dunia antara lain diakibatkan oleh melemahnya pertumbuhan ekonomi negara-negara
maju dan berkembang, penurunan harga komoditas, serta perbedaan arah kebijakan
moneter dan fiskal di berbagai kawasan.
Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS
berada pada level Rp13.047 pada penutupan perdagangan hari Senin tanggal 9
Maret 2015. Sehingga selama tahun 2015 Rupiah mengalami depresiasi terhadap
mata uang dollar AS sebesar 4,81% (ytd). Depresiasi nilai tukar Rupiah tersebut
seiring dengan tren depresiasi mata uang yang dialami oleh negara-negara lain,
yang lebih disebabkan oleh faktor eksternal antara lain penguatan nilai tukar
dollar AS terhadap mata uang negara-negara lain sejalan dengan perbaikan
perekonomian AS serta kebijakan normalisasi moneter yang diambil oleh the US
Fed.
Ditinjau dari indikator Real
Effective Exchange Rate (REER), yang mengukur kondisi
perekonomian suatu negara dengan memperhatikan pergerakan nilai tukar,
pergerakan REER Indonesia masih sejalan dengan arah pergerakan negara emerging
markets lainnya. Posisi REER Indonesia juga masih berada level
yang cukup kompetitif, khususnya dibandingkan dengan negara ASEAN-5.
Secara historis, berdasarkan
data perekonomian Indonesia beberapa tahun terakhir pada saat terjadi
depresiasi rupiah seperti: krisis global 2008/2009 serta isu tapering off mulai
bergulir, arus FDI masih tetap masuk ke Indonesia. Salah satu penyebabnya
adalah karena aktivitas investasi di Indonesia, baik asing maupun domestik,
banyak yang dikategorikan investasi mendukung konsumsi domestik.
Perlu digaris bawahi bahwa tren
depresiasi nilai tukar Rupiah Indonesia kali ini berbeda dengan kondisi pada
saat krisis keuangan tahun 1997-1998 dan krisis 2008-2009. Kondisi perekonomian
Indonesia saat ini jauh lebih baik, dan beberapa indikator lain seperti indeks
harga saham gabungan (IHSG) dan posisi cadangan devisa menunjukan tren
peningkatan, berbeda dibandingkan dengan kondisi pada saat dua krisis terdahulu
terjadi. Di samping itu untuk memitigasi risiko eksternal yang berasal dari
dinamika sektor keuangan global seperti rencana kenaikan suku bunga The
Fed, Pemerintah telah menyiapkan beberapa langkah-langkah antisipasi
sebagai berikut:
1.
Membentuk protokol
managemen krisis nasional di dalam wadah FKSSK yang beranggotakan Kementerian
Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan serta Lembaga Penjamin
Simpanan.
2.
Menyiapkan
implementasi Bond Stabilization Framework (BSF) dengan
beberapa lapisan pencegahan (lines of defense), di antaranya pembelian
kembali (buyback) sekuritas utang, penggunaan dana investasi BUMN, termasuk
BPJS serta Saldo Anggaran Lebih/SAL.
3.
Membentuk
beberapa currency swap line, antara lain di level bilateral (non-USD
denominated), di antaranya dengan China, Jepang, dan Korea Selatan, dan di
level regional ASEAN+3 (non-USD denominated) melalui CMIM disertai
perjanjian pengumpulan cadangan devisa secara kolektif (pooled FX reserve).
4.
Menyiapkan Deferred
Draw Down Option (DDO) bekerja sama dengan World Bank, Asian
Development Bank, Australia serta Jepang (JBIC) senilai total USD 5 miliar yang
diperuntukan untuk mengantisipasi dampak ketidakpastian global terhadap
perekonomian Indonesia khususnya pembiayaan APBN.
Namun demikian, Pemerintah memahami
bahwa depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap dollar AS akan membawa dampak pada
pelaksanaan APBN-P 2015. Utamanya, pengaruh depresiasi akan menyebabkan
penurunan defisit pada postur APBN-P 2015. Seiring dengan depresiasi Rupiah,
penerimaan negara akan lebih tinggi dibandingkan dengan tambahan belanja yang
harus dikeluarkan. Reformasi kebijakan subsidi energi yang telah dilakukan oleh
pemerintah membuat tekanan belanja subsidi akibat pergerakan kurs menjadi
berkurang. Di sisi lain, kebijakan pemerintah yang lebih mengandalkan sumber
pembiayaan dalam negeri serta penerapan negative net flow untuk
utang luar negeri membuat tambahan belanja pembayaran bunga utang relatif
terkendali.
Pemerintah juga menyadari tambahan
kebijakan belanja infrastruktur yang secara signifikan dilalokasikan di
APBN-P 2015 berpotensi meningkatkan risiko bagi current acccount melalui
peningkatan impor, namun Pemerintah memperkirakan defisit current
account masih akan managable dan sustainable pada
level sekitar 3%. Yang lebih penting lagi defisit current account yang
terjadi sekarang diakibatkan oleh kegiatan yang produktif, yaitu pembangunan
infrastruktur. Di samping itu di dalam jangka menengah panjang kebijakan
peningkatan belaja infrastruktur ini akan meningkatkan daya saing perekonomian
sehingga akan memberikan kontribusi bagi perbaikan current account.
Beberapa upaya yang akan dilakukan
Pemerintah untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan antara lain:
1.
Dalam rangka
meningkatkan daya saing produk dalam negeri, Pemerintah juga akan mengeluarkan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur fleksibilitas Bea Masuk Anti
Dumping Sementara (BMADS) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS),
sebagai respon jika terdapat lonjakan impor barang tertentu, serta
penyederhanaan prosedur dan mekanisme pengembalian.
2.
Dalam rangka
mendorong peningkatan investasi langsung baik dari penanaman modal asing (PMA)
maupun dalam negeri (PMDN), Pemerintah dalam waktu dekat akan mengeluarkan
Revisi PP Nomor 52 Tahun 2011 yang biasa dikenal dengan tax allowance.
Fasilitas ini juga akan diberikan kepada dividen yang direinvestasi di
dalam negeri. Selain itu, prosedur pemberian tax allowance juga
dipermudah yaitu melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan sebagian besar
proses akan dilakukan di PTSP tersebut sehingga diharapkan proses akan lebih
cepat.
3.
Mendorong kebijakan
peningkatan penggunaan biofuel yang saat ini ditetapkan sebesar 10%
menjadi lebih tinggi lagi, tentunya dengan memperhatikan ketersediaan supply serta
kebijakan harga yang kompetitif.
4.
Kebijakan lain yang
juga akan dikeluarkan adalah skema perpajakan khususnya PPN untuk
industri pelayaran dalam negeri agar bisa lebih kompetitif.
5.
Mendorong
terbentuknya BUMN reasuransi untuk mengurangi defisit di neraca jasa khususnya
asuransi.
6.
Meningkatkan Law
Enforcement untuk mendorong implementasi UU Mata uang yang
mewajibkan penggunaan rupiah untuk bertransaksi di dalam negeri.
7.
Mendukung kewajiban
penggunaan LC untuk transaksi empat komoditas utama.
8.
Memperbaiki sistem
remitansi untuk memudahkan arus masuk pendapatan orang Indonesia yang bekerja
di luar negeri ke dalam sistem perbankan dalam negeri.
Pemerintah telah melakukan langkah
perbaikan penyehatan APBN untuk mendukung stabilitas makroekonomi antara lain
melalui defisit APBN yang dijaga pada tingkat yang rendah serta alokasi belanja
APBN dibuat lebih produktif. Selain itu rasio utang Pemerintah terhadap PDB
berada pada kisaran 24% yang merupakan tingkat yang aman dan rendah
dibandingkan dengan negara lain.
BAB 4
ANALISIS
ANALISIS
Berdasarkan isi dari krisis perekonomian diindonesia tahun 1998 kami
dapat mengamati bahwa:
1.
Akar dari semua
permasalahan ini adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah
sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia
cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya akumulasi
utang swasta luar negeri telah melebihi batas utang resmi pemerintah.
2.
Kedua kesalahan
pemerintah dalam pengaturan kebijakan fiskal dan moneter yang dinilai tidak
konsisten,tidak hanya itu ketidak mampuan pemerintah dalam mengatasi krisis
menimbulkan krisis kepercayaan dan
mengurangi kesedian investor asing untuk memberi bantuan dengan cepat.
BAB 5
PENUTUP
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari
pembahasan yang telah dijabarkan di atas bisa disimpulkan bahwa kondisi awal
krisis ekonomi di Indonesia sama sekali tidak terprediksi . pemulihan krisis
ekonomi di Indonesia bisa di lakukan apabila Pelaksanaan agenda politik secara
aman, lancar, tertib dan sesuai dengan aspirasi sebagian besar rakyat merupakan
keharusan, apabila semua itu terwujud ekonomi akan segera pulih.
Sebaliknya,bila kerusuhan sosial terus meningkat dan pemilu tidak dapat
dilaksanakan, maka pemulihan ekonomi sulit diharapkan dalam waktu cepat.Oleh
karena itu, keinginan seluruh rakyat Indonesia yang menghendaki agar pemilu berlangsung
jujur, adil, transparan, serta demokratis harus benar-benar dilaksanakan dan tidak
bisa ditawar-tawar lagi.
5.2. Saran
1. Seharusnya krisis ekonomi di Indonesia dapat diprediksi
dari jauh-jauh hari
2. Pemerintah seharusnya bersikap hati-hati dalam setiap menetapkan moneter dan mengetahui penyebab terjadinya krisis
ekonomi.
3. Sebaiknya pemerintah bersikap cermat dan bertindak cepat dalam mencari solusi untuk menanggulangi krisis ekonomi yang di landa negara Indonesia, langkah yang harus diambil untuk mengatasi kemelut ini adalah
dengan menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam tingkat yang
wajar, restrukturisasi perbankan, dan penyelesaian masalah utang
swasta dengan penjadwalan ulang Politik
dan sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor asing menjadi
enggan untuk menanamkan modal di Indonesia
Referensi:
ade-suyitno.blogspot.com/2011/10/v-behaviorurldefaultvmlo.html?m=1
Saya ingin semua orang untuk membaca pesan ini dengan hati-hati. Saya sangat senang untuk membuat kesaksian bagaimana saya mendapat pinjaman saya di pemberi pinjaman kredit legit, saya telah menderita di tangan kreditur internet palsu di situs web tertentu, saya telah diterapkan di beberapa perusahaan pinjaman di sini dan semua yang mereka lakukan adalah meminta saya untuk pembayaran dan setelah pembayaran, saya tidak akan mendapatkan pinjaman dari mereka, mereka adalah orang-orang yang salah. Saya kesakitan karena utang saya, dan saya membayar pembayaran lain untuk mendapatkan pinjaman untuk membuat saya utang yang lebih besar. Saya sangat senang ketika teman saya mengatakan kepada saya bahwa dia mendapat pinjaman dari internet, dia adalah orang yang mengatakan kepada saya tentang perusahaan pinjaman Theresa, dan saya mengajukan pinjaman sebesar $ 100.000 USD Aku mengikuti semua prosedur, saya berpikir bahwa saya lakukan tidak akan mendapatkan pinjaman, tapi aku sangat senang ketika pinjaman saya disetujui dan dikirim ke rekening bank saya langsung dalam waktu 24 jam menerapkan. Saya telah membayar semua hutang saya sekarang dan saya stabil secara finansial ketika saya menulis pesan ini. Jadi jika salah satu dari Anda berada di sini untuk mengajukan pinjaman, Anda harus menghubungi theresaloancompany di Uni E-mail, mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman pinjaman adalah nyata, yang lain adalah palsu. Cukup ikuti semua prosedur di perusahaan pinjaman Theresa dan saya meyakinkan Anda bahwa Anda juga akan mendapatkan pinjaman Anda seperti saya dan teman saya. Anda memiliki bijak sehingga Anda tidak akan kehilangan uang seperti saya, hubungi Theresa sekarang di email mereka jika Anda benar-benar membutuhkan pinjaman theresaloancompany@gmail.com
BalasHapushubungi saya juga jadi saya bisa memberikan informasi lebih lanjut tentang feyzilfatma@gmail.com
Terima kasih telah membaca kesaksian saya dan saya berterima kasih kepada Tuhan Bantuan
Aku Widya Okta, saya ingin bersaksi pekerjaan yang baik dari Allah dalam hidup saya kepada orang-orang saya yang mencari untuk pinjaman di Asia dan bagian lain dari kata, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka orang yang mencari pinjaman di antara kamu? Maka Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman penipuan di sini di internet, tetapi mereka masih asli sekali di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban dari suatu 6-kredit pemberi pinjaman penipuan, saya kehilangan begitu banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Aku hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari utang saya sendiri, sebelum aku rilis dari penjara dan teman yang saya saya menjelaskan situasi saya kemudian memperkenalkan saya ke perusahaan pinjaman reliabl yang SANDRAOVIALOANFIRM. Saya mendapat pinjaman saya Rp900,000,000 dari SANDRAOVIALOANFIRM sangat mudah dalam 24 jam yang saya diterapkan, Jadi saya memutuskan untuk berbagi pekerjaan yang baik dari Allah melalui SANDRAOVIALOANFIRM dalam kehidupan keluarga saya. Saya meminta nasihat Anda jika Anda membutuhkan pinjaman Anda lebih baik kontak SANDRAOVIALOANFIRM. menghubungi mereka melalui email:. (Sandraovialoanfirm@gmail.com)
BalasHapusAnda juga dapat menghubungi saya melalui email saya di (widyaokta750@gmail.com) jika Anda merasa sulit atau ingin prosedur untuk memperoleh pinjaman.
Halo Setiap Satu, nama saya wanita Jane alice dari Indonesia, dan saya bekerja dengan bersatu bangsa kompensasi, dan kami telah mendengar dan juga membuat pinjaman dari perusahaan pinjaman, saya cepat ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan seluruh Indonesia yang mencari pinjaman di internet sangat berhati-hati untuk tidak jatuh di tangan scammers dan fraudstars, ada banyak lender kredit palsu di sini di internet dan beberapa dari mereka adalah asli dan nyata, aku ingin meluncur kesaksian tentang bagaimana Tuhan menuntun saya untuk pemberi pinjaman dan Pinjaman nyata genue telah mengubah hidup saya dari rumput rahmat, setelah saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman kredit di sini di internt, saya kehilangan banyak uang untuk membayar biaya pendaftaran, isurance, pajak, dan setelah pembayaran saya masih tidak mendapatkan saya pinjaman. Setelah berbulan-bulan mencoba untuk mendapatkan pinjaman di internet dan jumlah scammed kali uang tanpa mendapatkan pinjaman dari perusahaan mereka sehingga saya menjadi begitu putus asa dalam mendapatkan pinjaman dari online genue kredit pemberi pinjaman yang tidak akan meningkatkan rasa sakit saya, jadi saya memutuskan untuk menghubungi seorang teman saya yang baru-baru mendapat pinjaman online, kita membahas kesimpulan kita tentang masalah dan dia bercerita tentang seorang wanita yang disebut Mr Dangote yang merupakan CEO dari Dangote Pinjaman Perusahaan. Jadi saya diterapkan untuk jumlah pinjaman (Rp400,000,000) dengan tingkat bunga rendah 2%, tidak merawat usia saya, karena saya mengatakan kepadanya apa yang saya ingin menggunakan uang itu untuk membangun bisnis dan pinjaman saya disetujui dengan mudah tanpa stres dan semua persiapan dilakukan pada transfer kredit dan dalam waktu kurang dari 24 jam setelah pendaftaran pinjaman, sudah disimpan ke bank dan mimpi saya datang melalui. Jadi saya ingin saran yang membutuhkan genue panggilan pinjaman cepat sekarang email di Dangotegrouploandepartment@gmail.com. dia tidak tahu bahwa aku melakukan ini. Saya berdoa agar Tuhan memberkati dia untuk hal-hal baik yang telah dilakukan dalam hidup saya. Anda juga dapat menghubungi saya di ladyjanealice@gmail.com hari yang indah lebih info..
BalasHapusKABAR BAIK!!!
BalasHapusNama saya Aris. Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial, dan putus asa, saya telah penipuan oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan menggunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 Juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dengan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan untuk dikirim langsung ke rekening saya tanpa penundaan. Karena saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah dia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda mematuhi perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan kehilangan Sety saya diperkenalkan dan diberitahu tentang Ibu Cynthia Dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua yang akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya yang saya kirim langsung ke rekening bulanan.
Aku Widya Okta, saya ingin bersaksi pekerjaan yang baik dari Allah dalam hidup saya kepada orang-orang saya yang mencari untuk pinjaman di Asia dan bagian lain dari kata, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka orang yang mencari pinjaman di antara kamu? Maka Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman penipuan di sini di internet, tetapi mereka masih asli sekali di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban dari suatu 6-kredit pemberi pinjaman penipuan, saya kehilangan begitu banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Aku hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari utang saya sendiri, sebelum aku rilis dari penjara dan teman yang saya saya menjelaskan situasi saya kemudian memperkenalkan saya ke perusahaan pinjaman dapat diandalkan yang SANDRAOVIALOANFIRM. Saya mendapat pinjaman saya Rp900,000,000 dari SANDRAOVIALOANFIRM sangat mudah dalam 24 jam yang saya diterapkan, Jadi saya memutuskan untuk berbagi pekerjaan yang baik dari Allah melalui SANDRAOVIALOANFIRM dalam kehidupan keluarga saya. Saya meminta nasihat Anda jika Anda membutuhkan pinjaman Anda lebih baik kontak SANDRAOVIALOANFIRM. menghubungi mereka melalui email:. (Sandraovialoanfirm@gmail.com)
BalasHapusAnda juga dapat menghubungi saya melalui email saya di (widyaokta750@gmail.com) jika Anda merasa sulit atau ingin prosedur untuk memperoleh pinjaman.
Saya Ny. Mariam Farid, pemberi pinjaman swasta, apakah Anda memerlukan pinjaman mendesak untuk melengkapi kebutuhan keuangan Anda, seperti membayar tagihan, memperluas bisnis, atau melunasi utang? Kami memberikan pinjaman kepada individu, perusahaan swasta atau pekerja pemerintah dengan suku bunga rendah 2% untuk jumlah yang diminta dan tanpa banyak stres atau kertas bekerja dan dengan jadwal angsuran bulanan yang nyaman. Hubungi kami melalui email: (mariamfaridfinancialservices@gmail.com) datang dan berbagi kebesaran perusahaan dan penuhi impian Anda.
BalasHapus